KRISIS MONETER INDONESIA
KRISIS moneter Indonesia disebabkan oleh
dan berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk
mengambangkan mata uang Thailand “Bath” terhadap Dollar US. Selama itu mata
uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap.
Devaluasi mendadak dari “Bath” ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang
Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.
Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang terkendali, pada
awalnya bertahan dengan memperluas “band”pengendalian/intervensi,
namun di medio bulan Agustus 1997 itu terpaksa melepaskan
pengendalian/intervensi melalui sistim “band” tersebut. Rupiah
langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah
terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Dan di bulan Juli 1998 dalam
setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di
pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode
yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia
paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Di tahun
1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar
+4,9% di tahun sebelumnya (1997). Atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun.
Sampai sekarang, sudah lima tahun, pemulihan pertumbuhan
ekonomi belum mencapai tingkat pra-krisis (tahun 1996/97).
MENGAPA?
Selama dekade sebelum krisis, Ekonomi Indonesia bertumbuh
sangat pesat. Pendapatan per kapita meningkat menjadi 2x lipat
antara 1990 dan 1997. Perkembangan ini didukung oleh suatu kebijakan
moneter yang stabil, dengan tingkat inflasi dan bunga yang rendah, dengan
tingkat perkembangan nilai tukar mata uang yang terkendali rendah, dengan APBN
yang Berimbang, kebijakan Ekspor yang terdiversifikasi (tidak saja tergantung
pada Migas), dengan kebijakan Neraca Modal yang liberal, baik bagi modal yang
masuk maupun yang keluar. Kesuksesan ini menimbulkan di satu pihak suatu optimisme yang
luar biasa dan di lain pihak keteledoran yang tidak
tanggung-tanggung. Suatu optimisme yang mendorong
kebijakan-kebijakan ekonomi dan tingkat laku para pelaku ekonomi dalam dan luar
negeri, sepertinya lepas kendali. Kesuksesan Pembangunan Ekonomi Indonesia
demikian memukau para kreditor luar negeri yang menyediakan kredit tanpa batas
dan juga tanpa meneliti proyek-proyek yang diberi kredit
itu. Keteledoran ini juga terjadi dalam negeri. Dimana
kegiatan-kegiatan ekonomi dan para pelakunya berlangsung tanpa pengawasan dan
tidak dilihat“cost benefit” secara cermat. Kredit jangka
pendek diinvestasikan ke dalam proyek-proyek jangka panjang. Didorong oleh
optimisme dan keteledoran ini ekonomi didorong bertumbuh diatas kemampuannya
sendiri (“bubble economics”), sehingga waktu datang tekanan-tekanan
moneter, Pertumbuhan itu ambruk!
Sementara itu terjadi pula suatu perombakan yang drastis
dalam strategi Pembangunan Ekonomi. Pembangunan Ekonomi yang selama ini
adalah “State” dan “Government-led” beralih
menjadi “led by private initiatives and market”. Hutang
Pemerintah/Resmi/Negara turun dari USD. 80 milyar menjadi USD. 50 milyar di
akhir tahun 1996, sementara Hutang Swasta membumbung dengan cepatnya. Jika di
tahun 1996 Hutang Swasta masih berada pada tingkat USD. 15 milyar, maka di
akhir tahun 1996 sudah meningkat menjadi antara USD. 65 milyar – USD. 75
milyar.
Proses Swastanisasi/Privatisasi dari pelaku utama
Pembangunan berlangsung melalui proses liberalisasi dengan mekanisme Deregulasi
diliputi visi dan semangat liberal. Dalam waktu sangat singkat bertebaran
bank-bank Swasta di seluruh tanah air dan bertaburan Korporasi-Korporasi Swasta
yang memperoleh fasilitas-fasilitas tak terbatas. Proses Swastanisasi ini
berlangsung tanpa kendali dan penuh KKN. Maka ketika diserang krisis mata uang,
sikonnya belum siap dan masih penuh kerapuhan-kerapuhan,
terlebih dunia Perbankan dan Korporasi. Maka runtuhlah bangunan modern dalam
tubuh Ekonomi Bangsa. Dan kerapuhan ini ternyata adalah sangat
mendalam dan meluas, sehingga tindakan-tindakan penyehatan-penyehatan
seperti injeksi modal oleh Pemerintah, upaya-upaya rekapitalisasi,
restrukturisasi Perbankan dan Korporasi-Korporasi sepertinya tidak mempan
selama dan sesudah 5 tahun ini. Sektor Finansial dan Korporasi masih tetap
terpuruk. Rapuhnya sektor-sektor modern ini adalah dalam hal organisasi,
manajemen, dan mental orang-orang/para pelakunya, dalam hal bisnis
serta akhlak dan moral. Suatu kerapuhan total dan secara institusional
pula!
Apa implikasi dari runtuhnya sektor modern dari bangunan
ekonomi kita ini? Peningkatan Pengangguran, Peningkatan Kemiskinan dan
Hutang Nasional. Dan hal-hal ini langsung mengena pada nasib ekonomi Rakyat
kita.
Namun akibat-akibat negatif ini dihadapi rakyat banyak
dengan suatu Resistensi dan Kreativitas Ekonomi yang militan.
Sektor tradisional yang selama ini dianggap sebagai sektor yang tidak
penting/prioritas, malahan dianggap sebagai penghambat dari pertumbuhan
Ekonomi, bukan saja menampung reruntuhan-reruntuhan dari ambruknya sektor
modern, namun juga memainkan peran sebagai pengganti dari peranan sektor
modern yang ambruk itu. Dan yang mengesankan adalah peran dari asas
kekeluargaan. Mereka yang di-PHK-kan ditampung dalam sektor tradisional dan
sektor informal dan merupakan bagian dari Resistensi Ekonomi Rakyat dalam
krisis ini.
Maka para pakar/pengamat yang selama ini meragukan
berfungsinya asas kekeluargaan seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD-45,
itu perlu “pulang kampung” untuk melihat dan mengalami bahwa asas kekeluargaan
itu betul-betul hidup di kalangan masyarakat dan sungguh-sungguh merupakan asas
solidaritas yang berfungsi dalam kehidupan ekonomi rakyat.
Resistensi, kreativitas ekonomi rakyat, produktivitas sektor
tradisional dan berfungsinya asas kekeluargaan, merupakan kekuatan ekonomi yang
riil yang telah mampu menahan kemerosotan ekonomi yang disebabkan oleh krisis
itu, dan malahan telah mampu pula mengangkat pertumbuhan ekonomi kembali pada
permukaan pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan +13,7% dengan tercapainya
tingkat +0% di tahun 1999, dilanjutkan dengan pertumbuhan +4,8% di tahun 2000,
yang hampir sama dengan pertumbuhan ekonomi pra krisis (1997, +4,9%). Tentu
tidak semuanya oleh Ekonomi Rakyat. Dalam bahasa resmi Ekonomi, pemulihan
ekonomi selama 2 tahun itu disebabkan oleh peningkatan ekspor (non Migas), oleh
investasi dan konsumsi. Dalam hal ekspor dan konsumsi, peranan ekonomi Rakyat
adalah menonjol. Dalam hal ekspor, cukup berperan ekspor hasil Perkebunan
rakyat, sehingga di Manado yang unggul dalam hal cengkeh itu –“dia orang
bilang, di Jakarta resesi, di Manado resepsi, no!”. Juga dalam
hal konsumsi yang kecuali dipenuhi oleh import, juga oleh produksi dalam
negeri, hasil kegiatan rakyat.
Masalahnya adalah mengapa ekonomi Nasional jatuhnya begitu
dalam, dalam setahun, tetapi juga dapat cepat pulih dalam 2 tahun berikutnya.
Jatuhnya demikian dalam di tahun 1998, menunjukkan betapa rapuhnya dan
paniknya sektor Finansial dan Korporasi, alias sektor modern dari
bangunan ekonomi kita. Dan seperti telah dikatakan, begitu rapuhnya sehingga
dengan segala “inset” dari modal, energi dan konsentrasi
sampai sekarang sektor ini belum dapat berfungsi kembali normal. Dan
cepat kembalinya pemulihan ekonomi selama dua tahun berikutnya dikatakan adalah
berkat ekonomi Rakyat. Apakah hanya karena itu saja? Tentu tidak hanya itu
saja. Faktor kepercayaan pada programa ekonomi Pemerintah dalam
kerjasama dengan IMF dan hilangnya panik ekonomi turut bermain
peran. Namun secara riil, peran ekonomi Rakyat seperti yang
telah digambarkan itu memang besar!
Tetapi antara ekonomi Rakyat/Ekonomi Tradisional dan Ekonomi
Modern tidak
perlu diadakan dikhotomi. “Dual
economy” nya Prof. Boeke, adalah suatu kenyataan dan merupakan dua
kekuatan ekonomi yang perlu diintegrasikan menjadi sokoguru dari
bangunan ekonomi Nasional yang modern.
Krisis Ekonomi yang kita alami dewasa ini menunjukkan
bahwa keserakahan sektor modern akan kredit, fasilitas dan
perluasan kegiatan, dan kurang adanya Pengawasan, adanya KKN, itulah yang telah
menjerumuskan Ekonomi bangsa ke dalam keterpurukan yang berkelanjutan ini.
Disebabkan oleh Politik Isolasi Nasional dan menumpuknya
Defisit APBN dari tahun ke tahun sedari tahun 50-an dan selama penggalan
pertama tahun 1960-an, maka di tahun 1965-66 terjadi suatu krisis ekonomi
Nasional yang merisaukan, yang telah menumbangkan ORDE LAMA (Demokrasi
Terpimpin) dan dibentuknya ORDE BARU.
Pemerintah/Negara mengambil peran untuk keluar dari krisis
tersebut, malahan melanjutkan perannya sebagai Pelaku Utama Pembangunan
sesudah krisis itu. Sehingga Pembangunan selama itu disebut “Government/State
led development”. Hal ini terjadi bukan karena ideology (Sosialisme)
melainkan karena kondisi pragmatis, dimana pada waktu itu tidak ada perusahaan
Swasta, dan kalau ada berada dalam kondisi sangat lemah.
Dibawah Pimpinan Negara/Pemerintah, maka Pembangunan dan
peningkatan pendapatan Nasional dan per kapita maju pesat. Jika era
Demokrasi Terpimpin sebelumnya adalah era dimana Politik menjadi Panglima
(upaya pembentukan dari suatu Sistim Politik Nasional)
maka era ORBA dapat dinamakan sebagai era dimana Ekonomi menjadi Panglima (dan
upaya-upaya untuk membentuk suatu Sistim Ekonomi Nasional).
Di tahun 1980-an, didesak oleh kebutuhan akan modal,
efisiensi, dan teknologi yang lebih meningkat untuk menjaga agar Pembangunan
Ekonomi berkelanjutan mantap meningkat, dan di bawah pengaruh globalisasi, maka
terjadi proses Swastanisasi dari Pembangunan. Proses tersebut ditandai oleh
suatu proses Liberalisasi dan mekanismenya adalah Deregulasi/Ekonomi.
Masalahnya adalah mengapa pada waktu itu proses Deregulasi
tidak diarahkan langsung kepada Ekonomi Rakyat. Ada keraguan di kalangan
Pemerintah pada waktu itu terhadap kemampuan Ekonomi Rakyat sebagai penggerak
utama dari roda Pembangunan.
Ekonomi Rakyat masih perlu diberdayakan, dan pemberdayaan
itu dilakukan melalui “link and match” dengan sektor
Swasta. Melalui pemberdayaan sektor Swasta maka diharapkan/dianggap
Ekonomi Rakyat akan pula dapat diberdayakan. Jika Pembangunan selama ini
adalah “top down” maka proses ini tidak langsung beralih ke
sistim “bottom up”, namun melalui sistim (peng)antara “middle
down” dan “middle up”. Kita tahu apa yang telah terjadi.
Bukan proses “memberdayakan”, melainkan proses “memperdayakan”. “Up” dan “down” diperdayakan
oleh si “middle”. Maka terjadilah krisis ekonomi yang
berkelanjutan ini.
Masalahnya sekarang adalah, apakah dalam kondisi krisis
dewasa ini, sudah tiba waktunya kita beralih ke Ekonomi Rakyat, melihat peran
ekonomi rakyat selama krisis ini seperti yang telah diuraikan itu. Memang
ideal, jika bisa begitu. Namun sesuatu yang ideal, tidak lalu harus
diidealisasikan, Makna dari suatu ideal adalah bukan sekedar padaidealismenya,
namun pada kemampuan untuk merealisasikan apa yang dianggap ideal itu.
Telah dikemukakan bahwa kemampuan Resistensi Ekonomi Rakyat
adalah pada tingkat “subsistence economy”. Ekonomi Rakyat adalah
pula ekonomi “from hand to mouth”. Apa yang dihasilkan, dihabiskan!
Tidak ada kelebihan untuk melanjutkan dan mendinamisasikan kegiatan. Jika hal
itu diperlukan maka dilaksanakan melalui hutang. Sebab itu peran “lintah darat”
besar dalam ekonomi Rakyat.
Ini semua dikemukakan tidak dengan maksud untuk memojokkan
ekonomi Rakyat, namun untuk mengungkapkan kenyataan yang dihadapi yang perlu diperbaiki
agar tugas Nasional yang diserahkan kepada Ekonomi Rakyat dapat terlaksana
dengan baik dan penuh prospek dan perspektif. Apa tugas Nasional
itu? Mengatasi Pengangguran, mengatasi Kemiskinan, mengatasi Hutang. Ketiga
target ini memang mengena pada kepentingan ekonomi Rakyat! Suatu tantangan bagi
ekonomi Rakyat! Menghadapi tugas besar/tugas nasional ini, para pelaku ekonomi
Rakyat perlu di”upgrade”.
Disamping tugas besar Nasional yang berjangka itu, ada pula
tugas Nasional yang mendesak! Dewasa ini, terlebih sesudah kejadian
11 September 2001 di Amerika Serikat, kita mengalami kemerosotan
investasi dan eksport termasuk Pariwisata. Dalam bahasa ekonominya adalah
bahwa kita mengalami kemerosotan dari “external demand”. Kondisi
ini perlu diimbangi dengan menciptakan/mengaktifkan “domestic demand” yakni “demand” akan
investasi dan konsumsi. Potensi untuk itu ada di dalam Negeri karena masih
cukup pendapatan dalam negeri dan simpanan dalam negeri yang tersembunyi dan
terpendam. Memang ada pendapatan dan simpanan dalam negeri yang lari keluar,
tetapi sebagian besar masih “berkeliaran” di dalam negeri. Mereka tidak menjadi
efektif (“effective demand”) antara lain karenaketidakpastian hukum
dan keamanan. Maka dari itu programa hukum dan kesesuaian harus menunjukkan
prioritas bagi Pemerintah. (Hukum dan keamanan ini juga
dituntut oleh para investor asing!). Penciptaan dari “domestic demand” ini
mungkin, karena pasar dalam negeri yang besar dan luas. Nah, dalam kontekst ini
peran ekonomi Rakyat dapat difokuskan, di”upgrade” dan
ditingkatkan.
Hanya jangan dikira jika semua rakyat sudah menjadi Subyek
Ekonomi, maka dengan sendirinya Kesejahteraan Rakyat
tercapai. Seperti halnya dalam bidang moral dan agama. Jangan
disangka jika setiap anggota masyarakat itu bermoral tinggi dan sungguh-sungguh
menghayati agamanya, maka masyarakat dengan sendirinya bermoral dan
beragama. Diperlukan suatu Institusi dan pendekatan
secara Institusional.
Selama ini kita telah bicara banyak mengenai Ekonomi Rakyat
dan Ekonomi Kerakyatan. Apa itu? Ekonomi Rakyat mempunyai dua
aspek integral. Aspek orientasi kepada kepentingan
rakyat banyak dan aspek rakyat sebagai Subyek dalam Ekonomi
Negara. Dalam hal Ekonomi Kerakyatan maka jelas orientasinya pada
kepentingan ekonomi Rakyat banyak, namun tidak selamanya rakyat harus menjadi
Subyek Ekonomi. Dalam hal Ekonomi Rakyat, maka baik orientasi pada kepentingan
dalam ekonomi, maupun Subyek dalam ekonomi adalah rakyat. Hanya seperti telah
diuraikan itu, perlu diingat, bahwa kalaupun Rakyat sudah menjadi Subyek
Ekonomi, maka tidak dengan sendirinya kesejahteraan Nasional tercapai. Sebab
kesejahteraan Nasional bukanlah somasi/jumlah dari kepentingan masing-masing
rakyat. Diperlukan suatu Institusi yang mengarahkan kepada kepentingan rakyat
dan kesejahteraan Nasional. Diharapkan bahwa Institusi yang demikian itu adalah
antara lain Pemerintah dan Parlemen.
Rakyat sebagai Subyek Ekonomi seperti halnya dengan
Korporasi-Korporasi besar/maju, memerlukan perlindungan/kepastian Hukum dan
iklim usaha, memerlukan akses ke modal, teknologi dan Pasar. Hal-hal ini perlu
diciptakan oleh Institusi itu.
Masalah ini perlu ditekankan melihat pengalaman-pengalaman
dari usaha-usaha rakyat kecil di kota-kota yang lazim dinamakan Kaki Lima yang
dikejar-kejar itu. Mereka dianggap sebagai “underground economics”, pengganggu
ketertiban umum, sebagai usaha yang “inferior”. (Sementara menurut
suatu penelitian, mereka sehari dapat memperoleh antara Rp. 10.000 - Rp.
20.000, melebihi pendapatan orang yang sama di sektor formal). Dilupakan bahwa
mereka memenuhi kebutuhan masyarakat. Disitulah letak fungsi ekonomi mereka.
Mereka perlu dibimbing, diberi pendidikan, penjelasan-penjelasan dan
insentip-insentip. Mereka perlu diberi pengertian bahwa untuk
berusaha secara berkelanjutan diperlukan tertib usaha. Untuk menjamin tertib
usaha, mereka tidak boleh mengganggu ketertiban umum dan harus tunduk pada
peraturan (hukum) umum! Pengertian yang diperlukan, bukan penggusuran!
Pemberdayaan ekonomi Rakyat dewasa ini diperlukan pula untuk
membina kader-kader Pelaku Ekonomi Generasi baru menggantikan Generasi Pelaku
Ekonomi yang sudah tumbang ini. Mereka sendiri tadinya juga berasal dari usaha
ekonomi rakyat, usaha/pedagang kecil dan menengah. Namun suatu Generasi Pelaku
Ekonomi Nasional yang bersih, tidak dimanjakan dengan subsidi, proteksi dan
fasilitas, apalagi dengan KKN, tangguh mental dan professional dalam berusaha.
Ini berarti pula perlu dikembangkan suatu sistim mobilitas
vertikal secara sehat dan mandiri dalam masyarakat dunia usaha! Dewasa ini hal
ini diblokir oleh tidak selesai-selesainya proses penyehatan Perbankan dan
Korporasi.
Kembali kepada masalah Krisis Moneter dan Pemulihan kembali
Ekonomi Nasional. Telah dikemukakan betapa terpuruknya Ekonomi kita dan
betapa rapuhnya sektor modern kita, terlebih sektor Finansial
dan Korporasi. Dengan segala upaya dan energi serta bantuan luar negeri, kita
belum saja melihat titik terang. Lima (5) tahun krisis ekonomi adalah sudah
terlalu panjang dan karena sifatnya multidimensional maka ia dapat menggerogoti
secara meluas dan mendalam sendi-sendi kita hidup berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Jika hal ini dikaitkan dengan bahaya-bahaya proses desintegrasi
sosial, regional dan nasional maka krisis ekonomi yang berkepanjangan ini dapat
membawa Bangsa, Negara dan Masyarakat kita kepada kehancuran total. Maka dari
itu krisis ini perlu segera diatasi!
Dalam hal ini kita berhadapan dengan suatu Dilema
Fundamental yang “persistent” sekali. Dilemanya
adalah di satu pihak ada tuntutan untuk penyelesaian dulu semua
kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu, baru melangkah maju, di lain pihak ada
urgensi, kita maju ke depan (termasuk upaya penyelesaian krisis), dan sambil
berjalan ke depan kita secara selektif menyelesaikan kebobrokan-kebobrokan dari
masa lalu.
Untuk mengatasi Dilema Fundamental ini
diperlukan suatu Konsensus Politik secara Nasional, yang berfokus
pada pilihan politik untuk me-Rekonsiliasikan keperluan penyelesaian
secara tuntas masalah-masalah dari masa lalu dengankepentingan
bangsa dan Negara untuk maju ke depan dan yang didukung oleh semua
pihak. Dengan adanya Konsensus Politik secara Nasional itu,
barulah kita dapat menyusun suatu Programa Nasional untuk cepat keluar dari
krisis dan mulai memulihkan kembali Pertumbuhan Ekonomi Nasional yang mampu
memberantas Pengangguran, Kemiskinan, Kebodohan, dan Hutang Nasional. Sebab
disitulah letak kepentingan mendesak dari ekonomi rakyat kita, Hic et
nunc!
Makalah disampaikan dalam Seminar
Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis
Moneter Indonesia, Jakarta, 9 April
2002
0 komentar:
Posting Komentar